Teringat, dulu
setiap malam sebelum ia tidur, engkau selalu menceritakan dongeng “Si Kancil”
yang tak pernah ia bosan mendengarnya. Ia yang selalu menangis didalam selimut
jika diledek oleh abang-abangnya dengan sebutan ‘anak wak dollah’ yang dikenal sebagai
orang gila Samarinda pada masa itu. Ia pula yang meminta dibelikan tongkat
bidadari agar ia bisa menjadi putri. Dan engkaulah Raja baginya, seorang putri,
karena engkau yang menjadikannya.
Seiring waktu
berjalan, sang Putri tak lagi merasa sebagai Putri, karena engkau sang Raja tak
lagi menemaninya. Untuk sementara waktu putrimu besedih, namun ia segera
bangkit.
Putri kecilmu
nampaknya kini kuat tanpamu. Ia mampu menjalani hari-harinya dengan mandiri. Ia
tak membutuhkan siapapun. Tapi, tahukah engkau? Sesungguhnya, putri kecilmu
begitu rapuh, tak mampu menghadapi luka seorang diri. Putri kecilmu begitu
dingin, bahkan hampir beku atau malah sudah menjadi batu, begitu keras, egois.
Tiada lagi kehangatan dalam dirinya, karena ia tak lagi memilikimu yang
membuatnya selalu membara. Ia tak lagi sama.
Putri kecilmu
selalu menutupi rasanya, ia tak mampu menampakkan semua perubahan emosinya.
Putri kecilmu bagaikan pendusta, bermuka dua, bertingkah seolah-olah ia tegar,
kuat dan tak memiliki masalah. Sungguh, itu semua bukan karena ia ingin. Ia hanya
menutupi kesedihannya. Ia tak mau membuatmu kecewa karena memiliki putri yang
cengeng dan manja. Ia ingin engkau bangga padanya karena ia mampu menghadapi
dunia yang begitu menyeramkan jika tanpamu disini. Dan ia tak mengerti untuk
apa dan untuk siapa hidupnya sekarang ini.
Putri kecilmu
yang manja, kini tumbuh menjadi seorang gadis dewasa. Tapi sayang, ia tumbuh
tak sesempurna jika denganmu. Dan inilah aku, putri kecilmu. Ia membutuhkanmu. Aku
membutuhkanmu.
Putri kecilmu merindukanmu, Pa. Waktu kita terlalu singkat,
12 tahun. Andai aku tahu kesempatanku ‘tuk bersamamu sesingkat itu, maka akan
kumanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya. Kadang aku berpikir, mengapa Tuhan tak
memberiku waktu lebih lama untuk bersamamu? Mengapa Tuhan tak mengizinkanku
membuatmu bahagia terlebih dahulu? Mengapa Tuhan tak adil padaku? Namun aku
yakin, itu semua karena Tuhan sayang pada Papa. Tuhan tak ingin melihat Papa
menderita lebih lama, ditambah lagi menderita karena putri kecilnya yang selalu
merengek manja jika keinginannya belum terkabulkan. Dan aku yakin, Tuhan ingin
melihat aku, putri kecil Papa tumbuh menjadi wanita yang kuat meski sayapnya
telah dipatahkan.