Hujan
mulai rintik-rintik saat aku mendongakkan kepalaku ke luar jendela. Suasana sore masih
terbendung gelap yang disebabkan oleh awan hitam abu-abu tersebut. Matahari masih belum
melawan hujan. Aku
hanya duduk termenung di balik jendela kamarku. Sedari tadi hal yang
kurasakan adalah tulangku yang menggigil, entah karena dingin atau kondisi
badanku yang kurang sehat. Aku
kembali berjalan menuju ranjangku, menyusupkan tubuhku yang menggigil ke dalam
selimut. Perlahan
merasakan kehangatan mulai mengalir di tubuhku. Kupejamkan mataku
sejenak, sekedar menghilangkan beban di mataku.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk
dengan cukup pelan.
“Pasti bi Ijah.” Tebakku
“Iya sebentar!” sahutku sembari
berjalan membukakan pintu.
“Maaf non, waktunya makan malam,
yang lainnya telah menunggu di bawah.” Ucap bi Ijah saat pintu kamarku terbuka.
“Ok bi, kebetulan Diandra juga udah
laper banget.” Candaku padanya.
Bi Ijah adalah seorang pembantu
rumah tangga yang telah merawatku sejak aku lahir. Bagiku, ia sudah seperti ibu
kandungku. Bahkan ia lebih menyayangiku dibandingkan kedua orangtuaku. Hanya ia
yang peduli dengan keadaanku. Hanya ia yang tahu betapa inginnya aku menjadi
seperti Diana, saudara kembarku.
*****
“Wah, kayaknya enak nih.” Ucapku
seraya menduduki kursi di ruang makan.
“Dasar gak sopan..” sindir papa
padaku.
“Makanya, jangan nyerocos aja dong
jadi cewek.”Timpal kakakku, Dirga.
“Iya Di, kamu duduk dulu baru
ngomong, kan ada mama sama papa di sini. Jadi sopan dikit Di.” Tambah Diana.
“Iya Diandra, betul kata Diana.”
Tambah ibuku lagi membenarkan perkataan Diana.
“Baiklah, aku pergi.Silahkan makan!”
ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku
tanpa sedikitpun menyentuh makanan di sana. Padahal sebenarnya maagku kambuh
dan rasanya sangat perih.Tetapi lebih perih lagi ketika aku tidak pernah
mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang kusayangi.Aku melampiaskan
segalanya ke dalam tulisanku.
*****
Matahari menyelinap masuk ke dalam
kamarku dan menerpa mataku yang masih ingin terpejam untuk beberapa saat.Namun,
aku memaksakannya untuk terbuka, karena aku tak ingin terlambat mengikuti ujian
di sekolah.
Aku bergegas mandi kemudian
berpakaian dan mengunjungi bi Ijah yang ternyata sedang menyiapkan bekalku.
“Makasih bi, Diandra sayaaang banget
sama bibi.”Ucapku.
“Iya non, bibi juga sayang banget
sama non.” Kata bi Ijah memberiku semangat.
Setibanya di sekolah, aku langsung
menuju ruangan tempatku ujian. Jadwal
ujian hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung
yang sangat menyebalkan. Karena
aku tak sejago Diana dalam menghitung. Dugaanku tepat sekali, kali ini soalnya
teramat susah. Hingga waktu selesai, kertasku nyaris bersih tak terisi
satupun.Namun kalau bahasa inggris, itulah bidangku. Aku dapat dikategorikan
pandai dalam pelajaran ini. Semua soal dapat
kukerjakan dengan mudah.
*****
Waktu seakan berjalan dengan sangat
cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Diana
berada di kelas dan sekolah yang
berbeda. Aku berada di kelas satu SMA, sedangkan ia sudah di kelas dua. Semua
terjadi karena aku pernah tak naik kelas
saat di sekolah dasar. Diana bersekolah di salah satu sekolah favorit di
Jakarta. Maklum
saja, dengan nilainya yang nyaris sempurna Diana dapat memasuki sekolah manapun
yang dia inginkan. Sedangkan aku, dengan nilaiku yang pas-pasan aku hanya bisa
bersekolah di SMA yang di dalamnya terdapat banyak siswa buangan dari sekolah
lain yang tidak menerima kami.
“Pa, tolong ambilin raport Diandra
ya.”Pintaku.
“Papa sudah janji untuk mengambilkan
raport Diana.Kalian kan berbeda sekolah.”Jawab papa.
“Ma, ambilin raport Diandra ya!”
pintaku lagi kepada mama.
“Duh, mama sudah janji untuk
mengambilkan raport Dirga.”Jawab mama lagi-lagi menolak untuk mengambilkan
raportku.
“Oh gituya.”Balasku dengan kecewa.
Aku bergegas menuju kamarku, tidak
ada satupun orang yang bersedia mengambilkan raportku.Aku merasakan sangat
kecewa, jalan terakhir yang bisa kumintai tolong hanyalah bi Ijah.Dan tentu
saja bi Ijah dengan senang hati bersedia mengambilkan raportku.
“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan
penasaran.
“Selamat ya non, non Diandra juara
1.” Ucap bi Ijah kegirangan sembari memelukku.Aku hampir tidak menyangka dengan
hasilnya. Ternyata
usahaku selama ini tidak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi Diana.
*****
Setibanya di rumah, semua orang yang
sedang tertawa ria melihat hasil belajar Diana dan kak Dirga tiba-tiba terdiam
sesaat ketika menyadari kedatanganku dan bi Ijah.
“Gimana Di hasilnya?Pasti
jelek.”Ucap kak Dirga menyindirku.
“Nggak kok, kak.Diandra juara
1.”Ucapku dengan semangat.
“ Halahh, juara 1 di sekolahmu pasti
juara terakhir di kelas Diana.” Ledek papa padaku.
Aku
diam, suaraku tercekat di dalam tenggorokanku. Aku
kecewa, benar-benar sangat kecewa, karena semua prestasiku sama sekali tidak
pernah dihargai sedikitpun bahkan oleh orangtuaku sendiri. Aku berlari menuju
kamarku untuk melampiaskan segala kekecewaanku. Aku menangis di atas
ranjangku, kuratapi semua ketidakadilan yang terjadi selama ini. Aku tidak keluar kamar
selama dua haripun tidak ada yang peduli. Semua orang dirumah
hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Aku
ingin menangis, tetapi air mata hanyalah untuk orang yang lemah, dan aku bukan
orang yang semacam itu. Apa yang harus kulakukan dengan hidupku selanjutnya?
Aku belum pernah merasa benar-benar hidup. Tidak ada yang dapat
membuatku merasa begitu. Jika aku menuliskan segala keluh kesahku, maka buku
dengan ketebalan 15 cm tidak akan cukup untuk menampungnya. Tentu saja ini
membosankan, terlalu membosankan. Dan kadang aku selalu berharap akan hari esok
yang mungkin akan lebih baik, tapi hal itu tidak pernah kunjung datang dan
kadang itu membuatku semakin frustasi.
Di hari ketiga aksi diamku dikamar,
tiba-tiba telfonku berdering dan ternyata itu dari salah satu kantor majalah populer
langganan mamaku yang bersedia
menerbitkan tulisanku yang telah kukirim seminggu yang lalu. Ya, aku
selalu melampiaskan kekacauanku di dalam tulisan dan ada beberapa yang telah
diterbitkan dan menjadi best seller.
Tetapi tak ada satupun orang dirumahku yang mengetahui bakatku dalam menulis
ini. Pihak
agensi majalah tersebut memintaku untuk datang menemuinya.
Aku keluar rumah untuk mengunjungi
kantor majalah itu tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku menemui orang tersebut
dan memintanya untuk menyisipkan pesan yang ku tuliskan ke dalam tulisanku yang
mengisahkan kisah hidupku ini.
Di perjalanan pulang, aku mengalami
kecelakaan. Ketika
aku ingin menyebrang jalan tiba-tiba sesuatu menabrakku dan menghempaskanku
dari badan jalan. Aku
tergeletak tak berdaya. Warga sekitar segera membawaku ke rumah sakit terdekat dan segera
memberikanku pertolongan secepatnya. Pihak rumah sakit lalu menghubungi
keluargaku untuk datang kemari. Namun
aku merasa sudah tidak kuat lagi, karena darah yang keluar dari kepalaku
terlalu banyak. Segera aku meminta suster yang merawatku untuk memberikanku
secarik kertas dan bolpoin lalu memintanya untuk menuliskan surat terakhirku
untuk keluargaku.
Sesaat kemudian, keluargaku telah
berada di sekitarku dan menangisiku.Aku menangis bahagia melihat mereka.“Maafin
Diandra Ma, Pa, Kak .Diandra sayang kalian” ucapku di detik-detik terakhir
sebelum kepergianku.
Tiba-tiba elektrokardiograf
menunjukkan garis lurus yang menandakan bahwa diriku sudah tak bernyawa lagi.Aku
pergi untuk selama-lamanya. Dan
meninggalkan berjuta penyesalan di setiap tangis yang jatuh.
Setelah
kepergianku, suster memberikan sepucuk surat yang kutulis sebelumnya kepada
keluargaku.
“Ini surat dari Diandra sebelum ia
pergi” kata suster seraya memberikan surat itu kepada ibuku. Ibuku pun
membacakan surat itu dengan agak keras.
Untuk
semua orang yang sangat Diandra sayang, mungkin saat kalian membaca surat ini aku
sudah tak ada lagi di sini. Maafin Diandra yang selama ini belum bisa membuat
kalian bangga, yang selama ini hanya bisa membuat onar dan mengganggu kehidupan
kalian. Mungkin dengan kepergianku semuanya akan tenang. Semoga dengan
kepergianku ini tak ada lagi orang yang merasa terkucilkan sepertiku.Aku
sungguh merindukan kasih sayang dari kalian orang-orang yang kusayangi.Aku
sungguh iri dengan Diana dan Kak Dirga yang selalu mendapat perhatian dan kasih
sayang dari mama dan papa. Mungkin dengan kepergianku ini aku akan tahu
bagaimana kalian akan mengenangku, seperti aku yang selalu mengenang kalian.
Oh iya, aku ingin kalian membaca tulisanku yang
mengisahkan keluh kesahku selama aku hidup di majalah langganan mama.Mungkin
itu merupakan karya terakhirku. Dan
kuharap dengan tulisanku itu kalian bisa merasakan apa yang kurasakan selama
aku hidup.
Sungguh membosankan
menjalani hidup yang hanya penuh dengan keluh kesah. Dan akhirnya dengan
kepergianku ini aku tak lagi merasakan kebosanan itu. Semoga kalian semua
bahagia tanpa diriku, Amin.
Salam rindu, Diandra.
Tangisan
pun pecah dalam ruangan itu, air mata yang tebendung keluar dengan bebasnya,
mulut pun tidak mampu lagi menahan isak tangis penyesalan mereka atas
segalanya.Kini, aku telah tenang dan jauh dari segala ketidakadilan selama
hidupku.
**TAMAT**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar