Sabtu, 18 Februari 2017

CERPEN: Last Masterpiece

Intro: Hi, folks! Such a long time aku ngga nge-post disini ya ehehe. So here you go with my Indonesian assignment, yep, short story a.k.a cerpen xD. By the way, sorry ya aku ngga jago ngarang dan,waktu itu ngerjainnya udah dikejar-kejar waktu ehehe biasalah pelajar kan gitu kalo masih banyak waktu kerjaannya suka ditunda-tunda :'v jadi ya gini deh, happy reading guys! xD

 
Hujan mulai rintik-rintik saat aku mendongakkan kepalaku ke luar jendela. Suasana sore masih terbendung gelap yang disebabkan oleh awan hitam abu-abu tersebut. Matahari masih belum melawan hujan. Aku hanya duduk termenung di balik jendela kamarku. Sedari tadi hal yang kurasakan adalah tulangku yang menggigil, entah karena dingin atau kondisi badanku yang kurang sehat. Aku kembali berjalan menuju ranjangku, menyusupkan tubuhku yang menggigil ke dalam selimut. Perlahan merasakan kehangatan mulai mengalir di tubuhku. Kupejamkan mataku sejenak, sekedar menghilangkan beban di mataku.
            Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
            “Pasti bi Ijah.” Tebakku
            “Iya sebentar!” sahutku sembari berjalan membukakan pintu.
            “Maaf non, waktunya makan malam, yang lainnya telah menunggu di bawah.” Ucap bi Ijah saat pintu kamarku terbuka.
            “Ok bi, kebetulan Diandra juga udah laper banget.” Candaku padanya.
            Bi Ijah adalah seorang pembantu rumah tangga yang telah merawatku sejak aku lahir. Bagiku, ia sudah seperti ibu kandungku. Bahkan ia lebih menyayangiku dibandingkan kedua orangtuaku. Hanya ia yang peduli dengan keadaanku. Hanya ia yang tahu betapa inginnya aku menjadi seperti Diana, saudara kembarku.
*****
            “Wah, kayaknya enak nih.” Ucapku seraya menduduki kursi di ruang makan.
            “Dasar gak sopan..” sindir papa padaku.
            “Makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek.”Timpal kakakku, Dirga.
            “Iya Di, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada mama sama papa di sini. Jadi sopan dikit Di.” Tambah Diana.
            “Iya Diandra, betul kata Diana.” Tambah ibuku lagi membenarkan perkataan Diana.
            “Baiklah, aku pergi.Silahkan makan!” ucapku dengan sinis.
            Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan di sana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan rasanya sangat perih.Tetapi lebih perih lagi ketika aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang kusayangi.Aku melampiaskan segalanya ke dalam tulisanku.
*****
            Matahari menyelinap masuk ke dalam kamarku dan menerpa mataku yang masih ingin terpejam untuk beberapa saat.Namun, aku memaksakannya untuk terbuka, karena aku tak ingin terlambat mengikuti ujian di sekolah.
            Aku bergegas mandi kemudian berpakaian dan mengunjungi bi Ijah yang ternyata sedang menyiapkan bekalku.
            “Makasih bi, Diandra sayaaang banget sama bibi.”Ucapku.
            “Iya non, bibi juga sayang banget sama non.” Kata bi Ijah memberiku semangat.
            Setibanya di sekolah, aku langsung menuju ruangan tempatku ujian. Jadwal ujian hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan. Karena aku tak sejago Diana dalam menghitung. Dugaanku tepat sekali, kali ini soalnya teramat susah. Hingga waktu selesai, kertasku nyaris bersih tak terisi satupun.Namun kalau bahasa inggris, itulah bidangku. Aku dapat dikategorikan pandai dalam pelajaran ini. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah.
*****
            Waktu seakan berjalan dengan sangat cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Diana berada di kelas  dan sekolah yang berbeda. Aku berada di kelas satu SMA, sedangkan ia sudah di kelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas  saat di sekolah dasar. Diana bersekolah di salah satu sekolah favorit di Jakarta. Maklum saja, dengan nilainya yang nyaris sempurna Diana dapat memasuki sekolah manapun yang dia inginkan. Sedangkan aku, dengan nilaiku yang pas-pasan aku hanya bisa bersekolah di SMA yang di dalamnya terdapat banyak siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami.
            “Pa, tolong ambilin raport Diandra ya.”Pintaku.
            “Papa sudah janji untuk mengambilkan raport Diana.Kalian kan berbeda sekolah.”Jawab papa.
            “Ma, ambilin raport Diandra ya!” pintaku lagi kepada mama.
            “Duh, mama sudah janji untuk mengambilkan raport Dirga.”Jawab mama lagi-lagi menolak untuk mengambilkan raportku.
            “Oh gituya.”Balasku dengan kecewa.
            Aku bergegas menuju kamarku, tidak ada satupun orang yang bersedia mengambilkan raportku.Aku merasakan sangat kecewa, jalan terakhir yang bisa kumintai tolong hanyalah bi Ijah.Dan tentu saja bi Ijah dengan senang hati bersedia mengambilkan raportku.
            “Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran.
            “Selamat ya non, non Diandra juara 1.” Ucap bi Ijah kegirangan sembari memelukku.Aku hampir tidak menyangka dengan hasilnya. Ternyata usahaku selama ini tidak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi Diana.
*****
            Setibanya di rumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar Diana dan kak Dirga tiba-tiba terdiam sesaat ketika menyadari kedatanganku dan bi Ijah.
            “Gimana Di hasilnya?Pasti jelek.”Ucap kak Dirga menyindirku.
            “Nggak kok, kak.Diandra juara 1.”Ucapku dengan semangat.
            “ Halahh, juara 1 di sekolahmu pasti juara terakhir di kelas Diana.” Ledek papa padaku.
            Aku diam, suaraku tercekat di dalam tenggorokanku. Aku kecewa, benar-benar sangat kecewa, karena semua prestasiku sama sekali tidak pernah dihargai sedikitpun bahkan oleh orangtuaku sendiri. Aku berlari menuju kamarku untuk melampiaskan segala kekecewaanku. Aku menangis di atas ranjangku, kuratapi semua ketidakadilan yang terjadi selama ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tidak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Aku ingin menangis, tetapi air mata hanyalah untuk orang yang lemah, dan aku bukan orang yang semacam itu. Apa yang harus kulakukan dengan hidupku selanjutnya? Aku belum pernah merasa benar-benar hidup. Tidak ada yang dapat membuatku merasa begitu. Jika aku menuliskan segala keluh kesahku, maka buku dengan ketebalan 15 cm tidak akan cukup untuk menampungnya. Tentu saja ini membosankan, terlalu membosankan. Dan kadang aku selalu berharap akan hari esok yang mungkin akan lebih baik, tapi hal itu tidak pernah kunjung datang dan kadang itu membuatku semakin frustasi.
            Di hari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba telfonku berdering dan ternyata itu dari salah satu kantor majalah populer langganan mamaku yang bersedia  menerbitkan tulisanku yang telah kukirim seminggu yang lalu. Ya, aku selalu melampiaskan kekacauanku di dalam tulisan dan ada beberapa yang telah diterbitkan dan menjadi best seller. Tetapi tak ada satupun orang dirumahku yang mengetahui bakatku dalam menulis ini. Pihak agensi majalah tersebut memintaku untuk datang menemuinya.
            Aku keluar rumah untuk mengunjungi kantor majalah itu tanpa sepengetahuan orang tuaku. Aku menemui orang tersebut dan memintanya untuk menyisipkan pesan yang ku tuliskan ke dalam tulisanku yang mengisahkan kisah hidupku ini.
            Di perjalanan pulang, aku mengalami kecelakaan. Ketika aku ingin menyebrang jalan tiba-tiba sesuatu menabrakku dan menghempaskanku dari badan jalan. Aku tergeletak tak berdaya. Warga sekitar segera  membawaku ke rumah sakit terdekat dan segera memberikanku pertolongan secepatnya. Pihak rumah sakit lalu menghubungi keluargaku untuk datang kemari. Namun aku merasa sudah tidak kuat lagi, karena darah yang keluar dari kepalaku terlalu banyak. Segera aku meminta suster yang merawatku untuk memberikanku secarik kertas dan bolpoin lalu memintanya untuk menuliskan surat terakhirku untuk keluargaku.
            Sesaat kemudian, keluargaku telah berada di sekitarku dan menangisiku.Aku menangis bahagia melihat mereka.“Maafin Diandra Ma, Pa, Kak .Diandra sayang kalian” ucapku di detik-detik terakhir sebelum kepergianku.
            Tiba-tiba elektrokardiograf menunjukkan garis lurus yang menandakan bahwa diriku sudah tak bernyawa lagi.Aku pergi untuk selama-lamanya. Dan meninggalkan berjuta penyesalan di setiap tangis yang jatuh.  
Setelah kepergianku, suster memberikan sepucuk surat yang kutulis sebelumnya kepada keluargaku.
            “Ini surat dari Diandra sebelum ia pergi” kata suster seraya memberikan surat itu kepada ibuku. Ibuku pun membacakan surat itu dengan agak keras.
            Untuk semua orang yang sangat Diandra sayang, mungkin saat kalian membaca surat ini aku sudah tak ada lagi di sini. Maafin Diandra yang selama ini belum bisa membuat kalian bangga, yang selama ini hanya bisa membuat onar dan mengganggu kehidupan kalian. Mungkin dengan kepergianku semuanya akan tenang. Semoga dengan kepergianku ini tak ada lagi orang yang merasa terkucilkan sepertiku.Aku sungguh merindukan kasih sayang dari kalian orang-orang yang kusayangi.Aku sungguh iri dengan Diana dan Kak Dirga yang selalu mendapat perhatian dan kasih sayang dari mama dan papa. Mungkin dengan kepergianku ini aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti aku yang selalu mengenang kalian.
            Oh iya, aku ingin kalian membaca tulisanku yang mengisahkan keluh kesahku selama aku hidup di majalah langganan mama.Mungkin itu merupakan karya terakhirku. Dan kuharap dengan tulisanku itu kalian bisa merasakan apa yang kurasakan selama aku hidup.
Sungguh membosankan menjalani hidup yang hanya penuh dengan keluh kesah. Dan akhirnya dengan kepergianku ini aku tak lagi merasakan kebosanan itu. Semoga kalian semua bahagia tanpa diriku, Amin.
Salam rindu, Diandra.
Tangisan pun pecah dalam ruangan itu, air mata yang tebendung keluar dengan bebasnya, mulut pun tidak mampu lagi menahan isak tangis penyesalan mereka atas segalanya.Kini, aku telah tenang dan jauh dari segala ketidakadilan selama hidupku.
**TAMAT**
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar